PSYCHOPATH AND LIBRARY
Tik...tik...tik...
Kudengar suara air menitik di atas atap gedung. Ah sial...!pikirku. Kenapa hujannya harus turun sekarang, apa gak bisa sebentar lagi. Malah tugasku belum selesai, ‘death line’ semakin dekat. Aku harus segera pulang sebelum hujan bertambah deras, dan semakin larut. Aku tidak berani berlama-lama di sini. Dasar emang lagi sial, tiba-tiba listrik di perpustakaan ini mati, menambah seramnya suasana yang memang udah seram dari awalnya. Come on Joe, hurry up!pikirku. Benahi semua bukumu dan pergi dari tempat ini.
Akupun terburu-buru membereskan semua bukuku dan segera beranjak dari tempat dudukku menuju pintu keluar. Sambil berjalan ke arah gerbang utama kampusku, aku kembali teringat ke cerita salah satu temanku satu minggu yang lalu, satu bulan semenjak pertama kali menginjakkan kaki di salah satu kampus di kota kembang ini.
“Hi, kamu anak baru ya? Kenalin nama saya Anti, kamu?”tanyanya. Hari itu tanggal 17 Juli 2003, tepatnya jam 7 malam di perpus (red: perpustakaan), seorang mahasiswi mendatangi tempat dudukku sambil memperkenalkan diri.
“Ya, namaku Joyce, biasa dipanggil Joe,”jawabku.
“Ooo... fakultas apa?”
“Fakultas Sastra.”
“Sama donk. Semester berapa?”
“Semeter III.”
“Berarti kamu juniorku, aku semester V. BTW, kamu pindahan darimana?”
“Dari Surabaya,”jawabku singkat.
“Lagi buat tugas ya?”
“Gak, hanya cari bahan buat presentasi besok, dah selesai koq.”
Kemudian, aku membenahi semua buku dan alat tulisku.
“Mau pulang sekarang? Bareng yuk,” ajaknya.
“Ya nih, ntar kemalaman susah dapat bis.”
Aku dan Anti, teman baruku, melangkah keluar dari perpus menuju gerbang kampus.
“Aku perhatikan kamu rajin sekali ke perpus, sampai malam lagi, hobi baca ya Joe?”
“Ya, aku memang suka baca dari kecil. Kenapa?”
“Gak apa-apa sih. Tapi, diantara semua mahasiswi di kampus ini, khususnya anak baru, hanya kamu yang berani berlama-lama di perpus sampai malam hari.”
“Memangnya ada apa? Apa ada masalah?”tanyaku. Tanpa terasa kami sudah sampai di halte bis.
“Gak ada sih, tapi... Wah bisku sudah datang nih, see you...”
“Hey tunggu, tapi apa?”
Kulihat Anti sudah masuk ke dalam bis. Tak berapa lama bis yang menuju rumahku pun lewat. Sepanjang perjalanan aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Kenapa mahasiswi di kampusku gak ada yang berani di perpus sampai malam, ada apa ini? Ah, mungkin Anti cuma bercanda, berusaha menakut-nakutiku. Sudahlah Joe, jangan terlalu dipikirkan, ujarku dalam hati.
Dasar sial! Sudah hampir satu jam aku berdiri di halte bis, namun tak ada satupun bis jurusan rumahku yang lewat. Hujan turun semakin deras. Tiba-tiba sebuah sedan melintas di depanku dan berhenti mendadak kemudian mundur ke arahku. Kaca mobil dibuka dari dalam.
“Hi Joe, baru mau pulang? Ayo bareng, ntar aku anterin. Ayo masuk, hujannya makin deras nih.”
“Eh Anti. Gak usah, ntar lagi bisnya lewat koq.”
“Sudahlah, ayo buruan!gak usah sungkan, ayo!”
Pintu mobil terbuka. Ya sudahlah pikirku, hari juga dah tambah larut.
“Apa kabar Anti?”tanyaku di dalam mobil. “Dah lama gak kelihatan.”
“Ya nih, dah satu minggu ini aku gak ke kampus. Aku pergi ke Yogya karena ada sepupuku yang mau nikah, ya sekalian menghilangkan kejenuhan, boring belajar terus.”
“Ooh, asyik donk!”
“Ya begitulah. Di depan belok apa terus nih Joe?”
“Di depan belok kiri, lalu terus. Simpang lampu merah yang ketiga belok kanan, lurus. Rumahku yang pagar biru di sebelah kiri no.52.”
“I’ll get it!”
Dalam perjalanan, pikiranku kembali ke satu minggu yang lalu, ke cerita Anti yang masih mengambang.
“An, aku mau nanya nih.”
“Tanya apa?”
“Satu minggu yang lalu kamu pernah bilang hanya aku yang berani pulang malam dari perpus. Emangnya ada apa?”
Anti terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaanku. Cukup lama ia terdiam sampai akhirnya aku menegurnya.
“Anti, kenapa?”
“Eh...anu...eh...gak ada apa-apa koq. Aku hanya nanya aja, biasanya cewek kan takut pulang malam, itu aja koq.”
“Ehm...”
Hanya karena itu? Apa iya? Aku rasa ada yang disembunyikan oleh seniorku yang satu ini, gambaran itu terlihat jelas dari pancaran matanya yang berusaha menutupi sesuatu. Baiklah, pikirku, aku akan berusaha mencari jawabannya sendiri.
“Berhenti Anti, ini rumahku, kita dah nyampe.” Cii...t, terdengar suara ban mobil yang berhenti mendadak.
“Oops, sorry Joe, aku ngelamun.”
“Gak apa-apa,”jawabku. “Kamu gak mampir dulu, minum teh sambil menghangatkan badan, lagian hujankan sudah berhenti.”
“Lain kali aja Joe, dah malam nih! Dag....”
“Ok deh, thanks a lot ya. Dag....”
Aku berjalan menuju pintu rumahku sambil memikirkan apa gerangan yang Anti sembunyikan.
Keesokan harinya...
Kring...kring...kring...
Suara alarm berbunyi membangunkanku. Ya ampun, aku kesiangan! bisa telat ke kampus nih. Aku bergegas ke kampus ke kamar mandi, kemudian bersiap-siap berangkat ke kampus. Malah jalanan pakai acara macet lagi, bisa gak masuk kelas nih. Setelah beberapa lama akhirnya aku sampai di gerbang kampus. Wah gawat!dah telat 10 menit nih! Aku berlari-lari menuju kelasku. Sesampainya di kelas... Lho koq sepi? Anak-anak yang lain pada kemana? Hanya ada beberapa orang di dalam kelas.
“Pagi Hani,” sapaku. “Koq sepi? emangnya pak Sastro gak masuk?”
“Pagi Joe. Pak Sastro gak masuk, katanya sakit.”
“Ooh... Han, aku boleh nanya gak?” Pikiranku kembali ke percakapanku dengan Anti tadi malam.
“Boleh, mau nanya apa?”
“Kamu kenal Anti anak semester V gak?”
“Oh...mbak Anti. Kenal, kenapa?”
“Satu minggu yang lalu aku ketemu dengan dia di perpus, katanya aku koq berani pulang malam dari perpus, emang ada apa sih Han?”
Hani terdiam beberapa saat.
“Han???”
“Ya...eh...eh...”
“Ada apa sih?”
Sambil menarik nafas panjang, Hani mencoba menjawab pertanyaanku.
“Bener kamu pengen tahu?”
Aku menganggukkan kepala sambil berpikir ada apa sebenarnya.
“Kira-kira 3 tahun yang lalu, ada seorang mahasiswi ditemukan meninggal di depan pintu perpus kampus, dengan luka 10 tusukan di sekitar dada dan perut.”
Aku terkejut dan tubuhku tiba-tiba terasa hangat, seluruh bulu kudukku berdiri mendengar cerita temanku ini. Jantungku terasa hampir copot.
“Setelah diselidiki, ternyata mahasiswi tersebut adalah mahasiswi baru dikampus ini.”
“Kamu tahu darimana?”tanyaku.
“Dari senior,”jawabnya.
“Terus?”
“Dan 2 tahun yang lalu terjadi peristiwa yang sama dengan ciri luka yang sama, korban dengan status yang sama yaitu mahasiswi baru pindahan dari Surabaya dan suka berlama-lama di perpus sampai malam. Kemudian peristiwa yang sama terjadi lagi tahun lalu.”
Mahasiswi baru? Pindahan dari Surabaya? Suka ke perpus? Ya ampun, aku kah yang berikutnya? Pikiran itu melintas di kepalaku.
Kami sama-sama terdiam beberapa saat. Aku menarik nafas panjang, sambil berusaha menenangkan detak jantungku yang naik turun tak berirama. Kerongkonganku terasa kering. Sepatah katapun tak keluar dari mulutku. Akupun mengerti tentang apa yang dikatakan Anti satu minggu yang lalu.
“Kenapa Joe, koq diam? Kaget ya?”
“Eh...ah...eh...ya begitulah.”
“Emang kamu belum pernah dengar ceritanya ya Joe?”
“Belum. Trus apa pembunuhnya tertangkap?”
“Sampai sekarang belum. Polisi juga belum bisa menyimpulkan siapa pembunuhnya. Pelakunya terlalu lihai. Polisi menduga pelakunya adalah satu orang yang sama, dan mungkin pelakunya adalah seorang psikopat yang membunuh seseorang tanpa alasan yang jelas.”
“Apa mungkin pelakunya mahasiswa atau mahasiswi kampus ini juga?”
“Gak tahu, mungkin juga sih.”
“Koq mungkin? Apa kalian punya prediksi sendiri?”
“Begitulah. Kebanyakan anak mengira kalau pelakunya adalah Sammy. Kamu tahu Sammy gak?”
“Sammy anak semester VII yang pendiam dan jarang bergaul itu kan?”
“Ya benar.”
“Koq bisa Sammy apa alasannya?”
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh langkah kaki memasuki ruangan. Kulihat teman-temanku masuk dengan terburu-buru, dan dibelakang mereka terlihat pak Samson dengan wajah killernya. Seorang pria yang tak ku kenal, berpostur tinggi, atletis, dan berwajah tampan berjalan mengikuti pak Samson masuk ke dalam kelas. Ruangan menjadi sepi, percakapanku dengan Hani pun tertunda.
“Pagi semua...”
“Pagi pak...”
“Sebelum kita melanjutkan pelajaran, saya ingin memperkenalkan mahasiswa baru di kampus kita. Namanya Soni, dia pindahan dari Jakarta,”ujar pak Samson sembari menunjuk ke arah pria tampan yang tak ku kenal tadi.
“Pagi,” ujarnya sambil tersenyum manis, manis sekali.
“Pagi...” jawab kami.
Semua mahasiswi yang ada di kelas berbisik-bisik dan terus memandang ke arah Soni dengan penuh kekaguman termasuk aku. Memang harus diakui bahwa Soni sangat tampan dan amat menarik, sungguh sempurna. Kemudian dia berjalan mencari tempat duduk kosong dan akhirnya ia duduk di belakangku yang kebetulan tidak ada penghuninya. Pelajaranpun dimulai.
Pukul 12.30, setelah pelajaran usai...
Pak Samson keluar dari kelas, disusul dengan teman-teman yang lain yang sudah gak sabar sedari tadi menunggu pelajaran usai. Kelas pun menjadi kosong, hanya tinggal aku, Hani dan Soni, si tampan.
“Joe, ke kantin yuk, laper nih!”
“Ya duluan aja, ntar aku nyusul. Aku mau ke perpus dulu ngembaliin buku,” sahutku.
“Oh ya sudah, aku duluan ya,” ujar Hani sambil tersenyum ke arah Soni.
“Yoi.”
Akupun segera membenahi buku dan tasku untuk segera beranjak ke perpus. Tapi tiba-tiba...
“Nama kamu Joe ya?” terdengar suara Soni memanggilku dari belakang.
“Ya, sebenarnya Joyce, tapi di panggil Joe.”
“Kamu mau ke perpus? bareng dong. Aku juga mau ke perpus cari buku untuk mengejar pelajaranku yang tertinggal, sekalian kamu bantuin aku. Hitung-hitung nolongin anak barulah, boleh kan?”
“Oh boleh aja, tapi aku juga gak bisa bantu banyak, karena aku juga anak baru disini. Aku pindahan dari Surabaya.”
“Anak baru juga toh? Tapi gak apa-apa lah, yang jelas kamu kan lebih dulu masuk kesini daripada aku, ya kan?”
“Ya sih. Kalau gitu kita sekarang ke perpus, sebelum pelajaran berikutnya dimulai.”
“Ok.”
Kamipun berjalan menuju perpus kampus. Sesampainya disana aku segera mengembalikan buku yang kupinjam, agar aku bisa minjam buku yang baru. Setelah mengembalikan buku, aku dan Soni berjalan ke arah rak buku yang tertata rapi namun tetap kelihatan seram, mungkin karena bangunannya yang berasitektur Belanda tempo dulu. Setelah 15 menit berkutat dengan rak-rak buku, aku menemukan salah satu buku yang ku cari. Sambil membantu Soni mencari buku-buku yang ia perlukan, aku terus mencari satu buku lagi yang sangat penting untuk mengejar ‘death line’ presentasiku yang tinggal 3 hari lagi, namun sayang tidak kutemukan.
“Son, aku tinggal ke depan ya, aku mau nanya soal buku yang belum aku temuin ke pegawai perpus, mungkin dipinjam, karena satu minggu yang lalu aku lihat ada, gak apa-apa kan?”
“Gak apa-apa, ntar kamu balikkan?”
“Ya. Kamu baca aja dulu buku-buku yang aku cariin tadi, buku-buku tersebut cukup koq untuk mengejar ketertinggalanmu, ok?”
“Ok.”
Akupun melangkah ke arah meja depan, tempat peminjaman buku. Langsung kutanyakan kepada pegawai perpus, bu Santi, tentang buku karangan Daniel Jones, An Outline of English Phonetics. Bu Santi mengatakan kalau buku tersebut sedang dipinjam, dan mungkin akan dikembalikan sore ini. Ya ampun kenapa bukunya belum dikembalikan? Sore ini harus kembali lagi ke perpus? Ya ampun... Cerita tentang pembunuhan di perpus yang diceritakan Hani tadi pagi kembali terlintas di kepalaku. Mau gak mau aku harus kembali ke perpus sore ini, karena tanpa buku tersebut bahan buat presentasiku kurang. Aku kembali ke meja dimana Soni membaca buku.
“Gimana? Bukunya bagus kan?”
“Eh Joe, iya nih bagus, tapi sayang aku belum punya kartu perpus, jadi gak bisa pinjam, sayang sekali. Kamu gimana, bukunya ada?”
“Gak ada, lagi dipinjam, katanya sih ntar sore dipulangin. Kalau kamu mau, ntar buku-buku ini aku yang pinjam pakai kartuku lalu kupinjamin ke kamu, mau?”
“Mau sekali, gak ngerepotin kan?”
“Gak lah, kan ntar sore aku memang harus kembali ke sini pinjam buku. Wah gawat! 10 menit lagi ada kelas nih!”
Aku dan Soni tergesa-gesa berjalan menuju kelas.
Sore harinya... pukul 17.00 WIB
Akhirnya pelajaran usai. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan mendatangi meja Soni.
“Son, jadi gak pinjam bukunya?”
“Gak usah deh, aku mau berburu-buru pulang nih, mau anterin mamaku belanja. Ntar aja deh, lagian aku mau buat kartu perpus aja biar gampang.”
“Ok deh kalau begitu, aku duluan ya.”
Aku keluar dari kelas menuju perpus. Cuaca kelihatan mendung, awan hitam berarak di atas langit. Sepertinya mau hujan nih, aku harus cepat. Akhirnya aku sampai ke perpus setelah setengah berlari agar aku tiba lebih cepat. Aku langsung melangkah ke meja bu Santi.
“Gimana bu, bukunya dah dikembalikan belum?”
“Aduh Joe, belum tuh, mungkin ntar lagi sekitar jam 17.30.”
“Emang yang minjam siapa sih bu?”
“Sammy, anak semester VII. Dia rajin minjam buku disini dan biasanya dikembalikan tepat waktu, tunggu aja.”
Sammy? Cerita Anti tadi pagi kembali terlintas di pikiranku. Nunggu sampai 5.30 sore? Setengah jam lagi? Ya ampun...malah hari mau hujan lagi. Ya sudahlah, lagian di perpus ini juga banyak orang. Aku menunggu sambil membaca buku dan mempersiapkan data untuk presentasiku. Tanpa terasa kulihat jam, wah sudah jam 6! Kulihat keluar jendela hujan mulai turun. Kubalikkan badan ke arah meja bu Santi. Kulihat seorang pria sedang berbicara dengan bu Santi sambil mengembalikan buku. Wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutup topi dan kebetulan tempat dudukku jauh dari meja bu Santi. Tiba-tiba dia menatap ke arahku. Matanya yang bersinar menatapku dengan tajam, seperti mata elang yang hendak memakan mangsanya. Jantungku langsung berdebar kencang. Aku langsung membalikkan badan. Ya Tuhan...aku harus segera keluar dari tempat ini, tapi...ya hujannya tambah deras, gimana mau pulang, malah orang tinggal sedikit di sini. Ketakutan menjalar ke sekujur tubuhku, aku kah korban berikutnya?pikirku dalam hati. Tenang Joe belum tentu dia pelakunya, hiburku dalam hati.
Kupalingkan muka ke meja bu Santi. Alhamdulillah, dia udah gak ada. Tapi ketika mataku tertuju pada satu meja, kulihat sesosok pria bertopi lagi membaca buku. Itu dia, Sammy! Ya Tuhan, tolonglah hambamu ini, doaku dalam hati. Dengan berat, aku melangkah ke meja bu Santi.
“Kenapa Joe? Koq pucat?”
“Gak apa-apa bu, mungkin kedinginan,”jawabku. Setakut itukah aku? Sampai-sampai wajahku menjadi pucat pasi.
“Oh ya, nih bukunya, tadi barusan dikembaliin, tuh dia orangnya,”sahut bu Santi sambil menunjuk ke arah Sammy yang sedang asyik membaca buku.
“Kalau gitu saya pinjam sekarang bu, dah malam nih, mau pulang,”jawabku sekenanya sambil menyerahkan kartuku.
“Ok. Tapi diluarkan masih hujan, sebentar lagi aja tunggu agak reda,”ujar bu Santi sambil mengisi kartu perpusku.
Aku diam tak menjawab. Menunggu? Satu menit saja seperti satu abad mengingat ada sosok seorang Sammy di dalam gedung ini. Tapi ya sudahlah, aku akan tunggu kira-kira 15 menit, kalau gak reda juga aku harus pulang sebelum menyesal.
15 menit telah berlalu...
Hujan sudah mulai reda. Akupun bergegas pulang. Kulihat Sammy masih asyik dengan buku-bukunya. Setelah permisi dengan bu Santi, akupun melangkah keluar perpus. Sambil kedinginan, aku menerobos hujan yang kelihatannya akan deras lagi. Tiba-tiba aku merasa ada sepasang mata yang mengintaiku, dan kudengar langkah kaki mengikutiku dari belakang. Dari sudut mataku, samar-samar kulihat sosok tinggi bertopi berjalan tepat di belakangku. Kupercepat langkahku dan akhirnya aku sampai di gerbang kampus, dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju halte bis yang kebetulan ramai orang. Kulihat ke belakang, sosok pria bertopi itu ternyata Sammy! Ya ampun...benarkah dia pelakunya? Dari kejauhan kulihat sedan hitam yang sepertinya kukenal melaju ke halte dan berhenti tepat di depanku.
“Hi Joe, ayo naik, dah malam nih,”Anti berteriak ke arahku sambil membuka pintu mobil.
“Hi An,”akupun melangkah masuk ke dalam mobil. Alhamdulillah, pikirku.
“Dasar anak rajin, pasti dari perpus ya kan?”
“Ya, pinjam buku buat presentasi.”
Kami terdiam untuk beberapa saat.
“An,”sela ku untuk memecah keheningan. “Aku dah tahu koq alasannya kenapa kamu heran aku berani pulang malam dari perpus. Hani teman sekelasku yang cerita.”
“Oh bagus deh. Dia cerita semuanya?”
“Semuanya. Dari cerita 3 tahun yang lalu sampai sekarang, sekalian sama yang diduga jadi pelakunya. Sammy kan yang kemungkinan jadi pelakunya?”
“Sammy? Ya sih kebanyakan orang menduga bahwa Sammy pelakunya karena di dekat dan sering terlihat bersama dan akrab dengan ketiga korban. Sammy itu anak pintar, rajin, suka menolong, jadi banyak mahasiswa/i yang sering bertanya dan dekat dengannya. Semenjak rumours itu beredar, tidak ada lagi yang berani dekat dengannya.”
“Oh...begitu ceritanya.”
“Kamu kenapa Joe, koq pucat amat?”
“Heh? Gak, mungkin karena kedinginan,”jawabku. Tidak kuceritakan pada Anti kalau aku diikuti oleh Sammy. “Kamu percaya gak kalau Sammy pelakunya?”
Anti diam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tiba-tiba...
“Joe, dah nyampe nih. Gak turun?”tanyanya.
“Udah nyampe ya? Makasih banyak ya An. Oh ya besok kita pulang bareng ya, gak ngerepotin kan?”
“Tentu gak lah. Ok besok ku tunggu ya, dag...”
“Dag...”
Senin, 17 September 2003...
Pagi yang cerah, angin berhembus perlahan menyentuh kulitku. Suasana kampus kelihatannya sudah ramai. Hari ini aku tiba lebih cepat. Pagi yang indah dan menyenangkan, ucapku dalam hati. Aku senang sekali karena sudah satu minggu ini tidak ada yang mengikutiku. Mungkin benar pelakunya bukan Sammy.
“Joe!”terdengar suara lantang memanggilku dari kejauhan.
“Hi Son,” kulihat Soni setengah berlari ke arahku.
Sudah hampir satu minggu ini hubunganku dengan Soni bertambah dekat. Dia sering menemaniku di perpus, jadi aku tidak perlu khawatir lagi kalau aku harus pulang malam dari perpus. Soni sudah seperti sahabat bagiku, sama halnya dengan Hani dan Anti, seniorku.
“Tumben cepat Joe, biasanya gak pernah sepagi ini.”
“Ya, tadi aku bangun lebih awal dan jalanan juga belum ramai, jadi aku cepat nyampenya.”
“Eehm... Ntar ke perpus lagi Joe?”
“Iya nih, cari bahan buat paper. Bareng yuk! Paper kamu juga belum selesai kan?”
“Iya sih, tapi sepertinya hari ini aku gak bisa deh, kalau kamu mau, aku bisa jemput kamu ntar jam 7 malam, karena aku harus antarin mama ke Mall dekat sini, mau?”
“Maunya sih mau, tapi apa gak ngerepotin?”
“Ya gak lah, kamu kan dah banyak bantuin aku, so?”
“Ok deh, ntar aku tunggu jam 7.”
Tanpa terasa kami sudah sampai ke pintu kelas dan seperti biasa terdengar celotehan teman-temanku ketika melihat aku dan Soni berjalan beriringan ke dalam kelas.
“Suit...suit... tambah dekat aja nih Joe?”celoteh salah satu temanku. Aku hanya tersenyum simpul.
“Hi Han,” ku sapa Hani yang sedang membaca buku.
“Hi Joe, makin dekat aja nih kalian berdua.”
“Ah Hani, kamu koq ikut-ikutan yang lain, biasa aja koq.”
“Ya luar biasa juga gak apa-apa,”jawab Hani sambil tersenyum.
“Ya Han, gak ada yang special, Joe hanya bantuin aku mengejar pelajaran, that’s it,” Soni mendukung ucapanku.
“Ya deh, percaya-percaya...”sambung Hani.
Terdengar suara langkah dari luar, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Pasti bu Dewi, pikirku. Dan ternyata...
“Pagi semua...”sapa bu Dewi sambil memasuki ruangan.
“Pagi bu...”
Percakapan antara aku, Hani dan Soni pun usai, karena pelajaran akan segera dimulai.
Akhirnya tepat jam 2.30 sore semua pelajaran usai. Aku punya banyak waktu di perpus. Akupun beranjak menuju perpus untuk menyelesaikan paperku. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan Anti.
“Joe! Mau ke perpus?”
“Hey An, iya nih. Mau ke perpus juga?”
“Iya nih. Aku dengar-dengar di kelasmu ada anak baru, namanya Soni dan sekarang lagi dekat sama kamu, tul gak?”
“Begitulah. Dia minta bantuanku tuk mengejar ketertinggalannya. Kalau kamu mau kenal, ntar aku kenalin, jam 7 dia mau jemput aku.”
“Boleh deh, sekalian aku mau lihat orangnya yang mana.”
“An, kamu belum jawab pertanyaanku satu minggu yang lalu.”
“Yang mana?”
“Soal pelaku pembunuhan itu, kamu percaya gak kalau Sammy pelakunya?”
“Ooh yang itu.” Anti terdiam beberapa saat.
“Eeh Joe, dah nyampe nih.” Lagi-lagi percakapanku dan Anti pun tertunda.
Di dalam perpus terlihat banyak orang sedang sibuk membaca buku. Kelihatannya semua meja sudah penuh, tapi oops, ada meja kosong di sudut sana, tempat dimana Sammy duduk satu minggu yang lalu. Aku hapal betul tempatnya. Tapi ya sudahlah daripada gak ada. Aku dan Anti pun melangkah kesana. Suasana perpus lengang, karena jika ada yang bersuara sedikit saja akan langsung dikeluarkan dari perpus. Lantaran terlalu asyik membaca dan mencari buku, tanpa kusadari jam sudah menunjukkan pukul 6.50 malam. Ya ampun, hampir lupa aku, ntar lagi Soni kan mau jemput.
“Anti, dah selesai belum? Pulang yuk, ntar lagi Soni mau jemput nih, katanya mau dikenalin?”ujarku setengah berbisik ke Anti.
“Udah koq. Let’s go home.”jawab Anti sambil membereskan buku-bukunya.
Kami pun melangkah keluar perpus. Diluar hari sudah gelap.
“An, kamu percaya gak soal rumours tentang Sammy?”tanyaku menyambung percakapan kami yang tertunda.
“Heh? Soal Sammy?”
“Percaya gak?”
“Mmm...waktu pertama kali mendengar cerita itu aku gak percaya, habis anaknya baik sih. Tapi setelah kupikir-pikir dan kutelaah lebih lanjut, aku mulai mempercayainya,”jawab Anti. Kemudian ia diam sejenak.
“Jadi kamu percaya?”
Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat seorang pria berjalan mendekati kami. Awalnya kukira Soni, tapi ternyata...Sammy!!! Dadaku langsung berdebar kencang. Dia melewati kami, sambil menatap tajam ke arahku sambil menatap anting Anti yang hanya sebelah.
“An, Sammy tuh! Kamu lihat gak?”
“Ya, aku lihat.”
“Trus, kamu percaya gak?”
“Setengah percaya setengah gak, tapi setelah malam itu....”
“Joe,”suara seseorang berteriak ke arah kami.
“Hi Son,”jawabku setelah melihat wajahnya. “Son, kenalin ini senior kita, Anti, yang pernah aku ceritain ke kamu.”
“Anti,”sambil menatap Soni dengan seksama.
“Soni. Ini Anti yang buat kamu penasaran soal pembunuhan tak terungkap di kampus ini kan?”
“Ya, malah sepertinya dia tahu siapa pelakunya.”
“Pelakunya Sammy kan?”tanya Soni.
“Belum tentu sih,”jawabku. “An, tadi omonganmu belum selesai. Setelah malam itu kenapa?”
“Heh? Gak apa-apa koq. Aku pulang duluan ya Joe, kan dah ada yang ngantarin,”sahutnya sambil melirik ke Soni.
“Gak bareng aja?”
“Gak, aku bawa mobil koq.”
“An, antingmu keren amat, trend anak gaul ya?”
“Ya nih, jadi malu. Biar gak kalah ama anak-anak ibukota,”ujar Anti dengan wajah bersemu merah. “Ok, aku duluan ya, dag...”
Anti melangkah ke arah parkiran mobil dan Soni terus menatap ke arah Anti tajam tanpa kedip.
“Kenapa? Naksir ya?”tanyaku.
“Cantik juga, bolehlah.”
“Dasar cowok, gak bisa lihat yang bening dikit. Kalau emang naksir, ntar aku sampein salamnya.”
“Boleh...boleh...”
“Huh, dasar!”
Aku dan Soni masuk ke dalam mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menerobos gelap dan dinginnya malam ditemani dengan cahaya bintang dan bulan. Akhirnya kami tiba di rumahku. Soni kuajak mampir, tapi dia menolak karena harus jemput mamanya ke Mall dekat kampus.
Selasa, 18 September 2003...
Pagi ini kampus kelihatan sunyi, tidak seperti biasanya. Kulihat keramaian di papan pengumuman fakultas Sastra. Ada apa ya?pikirku. Ku percepat langkahku menuju papan pengumuman. Ya Tuhan...Anti? Gak mungkin, semalam dia masih sehat-sehat aja. Di papan tercantum bahwa Anti ditemukan meninggal di kamarnya dengan luka tusukan di perut. Di dekat mayatnya ditemukan kertas dengan tulisan “ANTING...S...” tulisan terputus setelah huruf ‘S’. Anti tidak sempat menuliskan pelakunya. Aku berasumsi kalau huruf ‘S’ adalah inisial pelakunya. Kutinggalkan papan pengumuman, sambil terus memikirkan siapa pelakunya. Apa mungkin? Sammy? Aku kembali teringat peristiwa kemarin malam dimana kulihat Sammy terus memperhatikan anting Anti. Ya ampun...gak salah lagi. Tapi mana buktinya?Di surat tersebut tertulis huruf ‘S’ dan itu belumtentu nama pelakunya. Tapi kalau Sammy pelakunya kenapa gak di perpus? Bukankah selama ini selalu di perpus? Trus Anti kan bukan anak baru? Lantas luka tusukan itu? Apa karena dia juga asli Surabaya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku, Siapakah dia? Kepalaku langsung berdenyut memikirkannya. Apa mungkin karena Anti tahu sesuatu yang belum sempat dikatakan padaku. Aku teringat perkataan Anti kemarin malam, “Setelah malam itu...” . Pasti, pasti karena Anti tahu sesuatu.
“Joe,”terdengar suara Soni memanggilku.
“Soni,”jawabku seadanya.
“Kamu dah dengar kabar belum Joe soal Anti?”
“Udah. Anti yang malang, padahal kamu kan...” aku menghentikan perkataanku sambil melihat ke arah Soni yang tertunduk lemas.
“Gak apa-apa lah, mungkin memang sudah nasibku.
“Jangan sedih, masih banyak yang lain koq,” jawabku berusaha menghibur Soni, padahal jauh di dalam hatiku aku amat sedih kehilangan sahabat sebaik Anti.
“Thanks Joe,” jawab Soni sambil tersenyum terpaksa.
Sementara di kejauhan sana terlihat sosok pria tinggi bertopi sedang menatap tajam ke arah Joe.
Selasa, 25 September 2003...
Satu minggu telah berlalu semenjak kematian Anti. Polisi juga belum bisa menemukan siapa pelakunya, benar-benar seorang psikopat. Aku tetap berasumsi bahwa pelakunya adalah Sammy, karena sudah satu minggu ini dia gak kelihatan. Soni juga dah satu minggu gak masuk kelas, mungkin dia masih shock, lagipula dia juga harus ke luar kota menghadiri acara pernikahan sepupunya. Hari-hariku pun terasa sepi. Sambil mengusir sepi, kuisi hari-hariku dengan membaca buku di perpus, lagian Sammy juga gak kelihatan, jadi tidak ada yang perlu di takutkan.
Hari ini sudah hampir jam 6 sore, tanpa sadar aku telah berada di perpus selama 3 jam karena dosen yang seharusnya masuk berhalangan hadir. Wah! sudah jam 6, aku harus pulang. Tapi aah...tanggung! ringkasanku tinggal sedikit lagi, klu bisa sekarang harus selesai, pikirku dalam hati. Satu jam telah berlalu, masih ada satu buku lagi yang harus kuringkas, ya sudahlah dipinjam saja, sudah jam 7! di luar mulai semakin gelap. Aku melangkah ke meja bu Santi dan menyerahkan kartu beserta buku yang akan kupinjam. Aku melihat ke sekeliling ruangan, hanya tinggal 5 orang. Mataku terhenti pada satu meja di sudut ruangan, kulihat sosok yang amat kukenal, kubuka mataku lebar-lebar...ya Tuhan! I...i...i...itukan Sammy! Di...di...dia...sudah datang! Gimana nih? Kucoba tenangkan diri. Tenanglah Joe, kamu kan dah mau pulang, pikirku dalam hati.
“Joe! Kamu lihat apa, koq serius amat? Dari tadi saya panggil-panggil gak jawab,” perkataan bu Santi memecah lamunanku.
“Eh ya...gak lihat apa-apa koq. Ada apa bu?”
“Gak, saya mau tanya hari ini tanggal berapa ya?”
“Oh, tanggal 25 September,”jawabku.
What? Tanggal 25 September! Tiba-tiba aku tersadar. Tanggal 25 September? Itu kan...itu kan...tanggal dimana setiap pembunuhan terjadi. Ya Tuhan...tolonglah hambamu ini, selamatkan nyawa hamba, jangan sampai hamba menjadi korban berikutnya, doaku dalam hati.
“Joe, nih bukunya, minggu depan harus sudah dikembalikan,” lagi-lagi omongan bu Santi memecah lamunanku.
“Eh...eh...iya bu. Saya pulang dulu bu.”
“Hati-hati ya...” Kulihat bu Santi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kulangkahkan kaki secepat mungkin. Oh Tuhan...andai aku punya sayap aku akan terbang agar cepat tiba di rumah, gerutuku. Kupercepat langkahku tanpa memperhatikan kanan-kiri, dan tiba-tiba... Buk!!!
“Soni?” seruku kaget. Rupanya yang kutabrak tadi adalah Soni. “Koq...koq...kamu ada di sini?” tanyaku terbata-bata. “Ka...ka...kapan pulangnya?”
“Aku pulang tadi jam 5 sore. Aku telp ke rumahmu, katanya kamu belum pulang, jadi aku langsung kesini aja karena kupikir kamu pasti di perpus. Kamu kenapa? Koq pucat?”
“A...a...a...ada Sam...Sammy di perpus,” kulihat ke belakang, Sammy sudah keluar dari perpus. “Dia sudah keluar, ayo cepat jalan!” perintahku.
“Tenang Joe, kan ada aku.”
Aku gak perduli dengan apa yang Soni katakan, pikiranku sudah dipenuhi dengan ketakutan. Kutarik tangannya dan cepat berjalan ke arah parkiran mobil. Kulihat dari sudut mataku Sammy terus mengikuti kami dan langkahnya pun semakin cepat. Syukurlah, akhirnya kami sampai ke parkiran mobil. Aku dan Soni segera masuk ke dalam mobil. Hari sudah bertambah gelap dan tiupan angin menambah menambah ketakutanku yang sudah dari tadi berkecamuk didiriku. Kulihat Sammy berdiri terpaku melihat aku dan Soni sudah di dalam mobil. Rasain! Kali ini loe gagal! pikirku. Got you!
Keesokan harinya, 26 September 2003...
Suasana kampus lengang. Tidak ada mahasiswa yang terlihat duduk-duduk di taman kampus. Dari jauh terlihat keramaian di fakultas Sastra, tepatnya di depan papan pengumuman. Setiap orang yang telah melihat pengumuman itu berkata: Joe yang malang... Kasihan ya Joe, padahal dia anak baik-baik dan pintar... How poor you are, Joe... Di papan pengumuman tertulis:
Seorang mahasiswi bernama Joe Anggraini (Joe), mahasiswi semester III, ditemukan tewas di depan pintu perpus kampus, dengan luka 10 tusukan di sekitar dada dan perut.
Polisi pun kembali meramaikan suasana kampus untuk memeriksa TKP sambil menanyai bu Santi sama halnya seperti 3 tahun yang lalu. Hani, sahabat Joe terlihat sedih dengan kematian Joe dan tak henti-hentinya menangis.
Sementara itu, di salah satu ruangan kosong di fakultas Sastra, terlihat dua sosok pria; yang satu mengenakan topi sesuai dengan kebiasaannya, dan yang satunya lagi berpostur tinggi, atletis dan berwajah tampan. Pria bertopi terlihat ketakutan terduduk di pojok ruangan dengan ekspresi wajah penuh penyesalan, sementara pria yang satunya lagi menatap tajam ke arah si pria bertopi seolah-olah akan memakannya hidup-hidup.
THE END
JMI-New Delhi, INDIA
Monday, 21st November 2005
PSYCHOPATH AND LIBRARY
Tik...tik...tik...
Kudengar suara air menitik di atas atap gedung. Ah sial...!pikirku. Kenapa hujannya harus turun sekarang, apa gak bisa sebentar lagi. Malah tugasku belum selesai, ‘death line’ semakin dekat. Aku harus segera pulang sebelum hujan bertambah deras, dan semakin larut. Aku tidak berani berlama-lama di sini. Dasar emang lagi sial, tiba-tiba listrik di perpustakaan ini mati, menambah seramnya suasana yang memang udah seram dari awalnya. Come on Joe, hurry up!pikirku. Benahi semua bukumu dan pergi dari tempat ini.
Akupun terburu-buru membereskan semua bukuku dan segera beranjak dari tempat dudukku menuju pintu keluar. Sambil berjalan ke arah gerbang utama kampusku, aku kembali teringat ke cerita salah satu temanku satu minggu yang lalu, satu bulan semenjak pertama kali menginjakkan kaki di salah satu kampus di kota kembang ini.
“Hi, kamu anak baru ya? Kenalin nama saya Anti, kamu?”tanyanya. Hari itu tanggal 17 Juli 2003, tepatnya jam 7 malam di perpus (red: perpustakaan), seorang mahasiswi mendatangi tempat dudukku sambil memperkenalkan diri.
“Ya, namaku Joyce, biasa dipanggil Joe,”jawabku.
“Ooo... fakultas apa?”
“Fakultas Sastra.”
“Sama donk. Semester berapa?”
“Semeter III.”
“Berarti kamu juniorku, aku semester V. BTW, kamu pindahan darimana?”
“Dari Surabaya,”jawabku singkat.
“Lagi buat tugas ya?”
“Gak, hanya cari bahan buat presentasi besok, dah selesai koq.”
Kemudian, aku membenahi semua buku dan alat tulisku.
“Mau pulang sekarang? Bareng yuk,” ajaknya.
“Ya nih, ntar kemalaman susah dapat bis.”
Aku dan Anti, teman baruku, melangkah keluar dari perpus menuju gerbang kampus.
“Aku perhatikan kamu rajin sekali ke perpus, sampai malam lagi, hobi baca ya Joe?”
“Ya, aku memang suka baca dari kecil. Kenapa?”
“Gak apa-apa sih. Tapi, diantara semua mahasiswi di kampus ini, khususnya anak baru, hanya kamu yang berani berlama-lama di perpus sampai malam hari.”
“Memangnya ada apa? Apa ada masalah?”tanyaku. Tanpa terasa kami sudah sampai di halte bis.
“Gak ada sih, tapi... Wah bisku sudah datang nih, see you...”
“Hey tunggu, tapi apa?”
Kulihat Anti sudah masuk ke dalam bis. Tak berapa lama bis yang menuju rumahku pun lewat. Sepanjang perjalanan aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya. Kenapa mahasiswi di kampusku gak ada yang berani di perpus sampai malam, ada apa ini? Ah, mungkin Anti cuma bercanda, berusaha menakut-nakutiku. Sudahlah Joe, jangan terlalu dipikirkan, ujarku dalam hati.
Dasar sial! Sudah hampir satu jam aku berdiri di halte bis, namun tak ada satupun bis jurusan rumahku yang lewat. Hujan turun semakin deras. Tiba-tiba sebuah sedan melintas di depanku dan berhenti mendadak kemudian mundur ke arahku. Kaca mobil dibuka dari dalam.
“Hi Joe, baru mau pulang? Ayo bareng, ntar aku anterin. Ayo masuk, hujannya makin deras nih.”
“Eh Anti. Gak usah, ntar lagi bisnya lewat koq.”
“Sudahlah, ayo buruan!gak usah sungkan, ayo!”
Pintu mobil terbuka. Ya sudahlah pikirku, hari juga dah tambah larut.
“Apa kabar Anti?”tanyaku di dalam mobil. “Dah lama gak kelihatan.”
“Ya nih, dah satu minggu ini aku gak ke kampus. Aku pergi ke Yogya karena ada sepupuku yang mau nikah, ya sekalian menghilangkan kejenuhan, boring belajar terus.”
“Ooh, asyik donk!”
“Ya begitulah. Di depan belok apa terus nih Joe?”
“Di depan belok kiri, lalu terus. Simpang lampu merah yang ketiga belok kanan, lurus. Rumahku yang pagar biru di sebelah kiri no.52.”
“I’ll get it!”
Dalam perjalanan, pikiranku kembali ke satu minggu yang lalu, ke cerita Anti yang masih mengambang.
“An, aku mau nanya nih.”
“Tanya apa?”
“Satu minggu yang lalu kamu pernah bilang hanya aku yang berani pulang malam dari perpus. Emangnya ada apa?”
Anti terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaanku. Cukup lama ia terdiam sampai akhirnya aku menegurnya.
“Anti, kenapa?”
“Eh...anu...eh...gak ada apa-apa koq. Aku hanya nanya aja, biasanya cewek kan takut pulang malam, itu aja koq.”
“Ehm...”
Hanya karena itu? Apa iya? Aku rasa ada yang disembunyikan oleh seniorku yang satu ini, gambaran itu terlihat jelas dari pancaran matanya yang berusaha menutupi sesuatu. Baiklah, pikirku, aku akan berusaha mencari jawabannya sendiri.
“Berhenti Anti, ini rumahku, kita dah nyampe.” Cii...t, terdengar suara ban mobil yang berhenti mendadak.
“Oops, sorry Joe, aku ngelamun.”
“Gak apa-apa,”jawabku. “Kamu gak mampir dulu, minum teh sambil menghangatkan badan, lagian hujankan sudah berhenti.”
“Lain kali aja Joe, dah malam nih! Dag....”
“Ok deh, thanks a lot ya. Dag....”
Aku berjalan menuju pintu rumahku sambil memikirkan apa gerangan yang Anti sembunyikan.
Keesokan harinya...
Kring...kring...kring...
Suara alarm berbunyi membangunkanku. Ya ampun, aku kesiangan! bisa telat ke kampus nih. Aku bergegas ke kampus ke kamar mandi, kemudian bersiap-siap berangkat ke kampus. Malah jalanan pakai acara macet lagi, bisa gak masuk kelas nih. Setelah beberapa lama akhirnya aku sampai di gerbang kampus. Wah gawat!dah telat 10 menit nih! Aku berlari-lari menuju kelasku. Sesampainya di kelas... Lho koq sepi? Anak-anak yang lain pada kemana? Hanya ada beberapa orang di dalam kelas.
“Pagi Hani,” sapaku. “Koq sepi? emangnya pak Sastro gak masuk?”
“Pagi Joe. Pak Sastro gak masuk, katanya sakit.”
“Ooh... Han, aku boleh nanya gak?” Pikiranku kembali ke percakapanku dengan Anti tadi malam.
“Boleh, mau nanya apa?”
“Kamu kenal Anti anak semester V gak?”
“Oh...mbak Anti. Kenal, kenapa?”
“Satu minggu yang lalu aku ketemu dengan dia di perpus, katanya aku koq berani pulang malam dari perpus, emang ada apa sih Han?”
Hani terdiam beberapa saat.
“Han???”
“Ya...eh...eh...”
“Ada apa sih?”
Sambil menarik nafas panjang, Hani mencoba menjawab pertanyaanku.
“Bener kamu pengen tahu?”
Aku menganggukkan kepala sambil berpikir ada apa sebenarnya.
“Kira-kira 3 tahun yang lalu, ada seorang mahasiswi ditemukan meninggal di depan pintu perpus kampus, dengan luka 10 tusukan di sekitar dada dan perut.”
Aku terkejut dan tubuhku tiba-tiba terasa hangat, seluruh bulu kudukku berdiri mendengar cerita temanku ini. Jantungku terasa hampir copot.
“Setelah diselidiki, ternyata mahasiswi tersebut adalah mahasiswi baru dikampus ini.”
“Kamu tahu darimana?”tanyaku.
“Dari senior,”jawabnya.
“Terus?”
“Dan 2 tahun yang lalu terjadi peristiwa yang sama dengan ciri luka yang sama, korban dengan status yang sama yaitu mahasiswi baru pindahan dari Surabaya dan suka berlama-lama di perpus sampai malam. Kemudian peristiwa yang sama terjadi lagi tahun lalu.”
Mahasiswi baru? Pindahan dari Surabaya? Suka ke perpus? Ya ampun, aku kah yang berikutnya? Pikiran itu melintas di kepalaku.
Kami sama-sama terdiam beberapa saat. Aku menarik nafas panjang, sambil berusaha menenangkan detak jantungku yang naik turun tak berirama. Kerongkonganku terasa kering. Sepatah katapun tak keluar dari mulutku. Akupun mengerti tentang apa yang dikatakan Anti satu minggu yang lalu.
“Kenapa Joe, koq diam? Kaget ya?”
“Eh...ah...eh...ya begitulah.”
“Emang kamu belum pernah dengar ceritanya ya Joe?”
“Belum. Trus apa pembunuhnya tertangkap?”
“Sampai sekarang belum. Polisi juga belum bisa menyimpulkan siapa pembunuhnya. Pelakunya terlalu lihai. Polisi menduga pelakunya adalah satu orang yang sama, dan mungkin pelakunya adalah seorang psikopat yang membunuh seseorang tanpa alasan yang jelas.”
“Apa mungkin pelakunya mahasiswa atau mahasiswi kampus ini juga?”
“Gak tahu, mungkin juga sih.”
“Koq mungkin? Apa kalian punya prediksi sendiri?”
“Begitulah. Kebanyakan anak mengira kalau pelakunya adalah Sammy. Kamu tahu Sammy gak?”
“Sammy anak semester VII yang pendiam dan jarang bergaul itu kan?”
“Ya benar.”
“Koq bisa Sammy apa alasannya?”
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh langkah kaki memasuki ruangan. Kulihat teman-temanku masuk dengan terburu-buru, dan dibelakang mereka terlihat pak Samson dengan wajah killernya. Seorang pria yang tak ku kenal, berpostur tinggi, atletis, dan berwajah tampan berjalan mengikuti pak Samson masuk ke dalam kelas. Ruangan menjadi sepi, percakapanku dengan Hani pun tertunda.
“Pagi semua...”
“Pagi pak...”
“Sebelum kita melanjutkan pelajaran, saya ingin memperkenalkan mahasiswa baru di kampus kita. Namanya Soni, dia pindahan dari Jakarta,”ujar pak Samson sembari menunjuk ke arah pria tampan yang tak ku kenal tadi.
“Pagi,” ujarnya sambil tersenyum manis, manis sekali.
“Pagi...” jawab kami.
Semua mahasiswi yang ada di kelas berbisik-bisik dan terus memandang ke arah Soni dengan penuh kekaguman termasuk aku. Memang harus diakui bahwa Soni sangat tampan dan amat menarik, sungguh sempurna. Kemudian dia berjalan mencari tempat duduk kosong dan akhirnya ia duduk di belakangku yang kebetulan tidak ada penghuninya. Pelajaranpun dimulai.
Pukul 12.30, setelah pelajaran usai...
Pak Samson keluar dari kelas, disusul dengan teman-teman yang lain yang sudah gak sabar sedari tadi menunggu pelajaran usai. Kelas pun menjadi kosong, hanya tinggal aku, Hani dan Soni, si tampan.
“Joe, ke kantin yuk, laper nih!”
“Ya duluan aja, ntar aku nyusul. Aku mau ke perpus dulu ngembaliin buku,” sahutku.
“Oh ya sudah, aku duluan ya,” ujar Hani sambil tersenyum ke arah Soni.
“Yoi.”
Akupun segera membenahi buku dan tasku untuk segera beranjak ke perpus. Tapi tiba-tiba...
“Nama kamu Joe ya?” terdengar suara Soni memanggilku dari belakang.
“Ya, sebenarnya Joyce, tapi di panggil Joe.”
“Kamu mau ke perpus? bareng dong. Aku juga mau ke perpus cari buku untuk mengejar pelajaranku yang tertinggal, sekalian kamu bantuin aku. Hitung-hitung nolongin anak barulah, boleh kan?”
“Oh boleh aja, tapi aku juga gak bisa bantu banyak, karena aku juga anak baru disini. Aku pindahan dari Surabaya.”
“Anak baru juga toh? Tapi gak apa-apa lah, yang jelas kamu kan lebih dulu masuk kesini daripada aku, ya kan?”
“Ya sih. Kalau gitu kita sekarang ke perpus, sebelum pelajaran berikutnya dimulai.”
“Ok.”
Kamipun berjalan menuju perpus kampus. Sesampainya disana aku segera mengembalikan buku yang kupinjam, agar aku bisa minjam buku yang baru. Setelah mengembalikan buku, aku dan Soni berjalan ke arah rak buku yang tertata rapi namun tetap kelihatan seram, mungkin karena bangunannya yang berasitektur Belanda tempo dulu. Setelah 15 menit berkutat dengan rak-rak buku, aku menemukan salah satu buku yang ku cari. Sambil membantu Soni mencari buku-buku yang ia perlukan, aku terus mencari satu buku lagi yang sangat penting untuk mengejar ‘death line’ presentasiku yang tinggal 3 hari lagi, namun sayang tidak kutemukan.
“Son, aku tinggal ke depan ya, aku mau nanya soal buku yang belum aku temuin ke pegawai perpus, mungkin dipinjam, karena satu minggu yang lalu aku lihat ada, gak apa-apa kan?”
“Gak apa-apa, ntar kamu balikkan?”
“Ya. Kamu baca aja dulu buku-buku yang aku cariin tadi, buku-buku tersebut cukup koq untuk mengejar ketertinggalanmu, ok?”
“Ok.”
Akupun melangkah ke arah meja depan, tempat peminjaman buku. Langsung kutanyakan kepada pegawai perpus, bu Santi, tentang buku karangan Daniel Jones, An Outline of English Phonetics. Bu Santi mengatakan kalau buku tersebut sedang dipinjam, dan mungkin akan dikembalikan sore ini. Ya ampun kenapa bukunya belum dikembalikan? Sore ini harus kembali lagi ke perpus? Ya ampun... Cerita tentang pembunuhan di perpus yang diceritakan Hani tadi pagi kembali terlintas di kepalaku. Mau gak mau aku harus kembali ke perpus sore ini, karena tanpa buku tersebut bahan buat presentasiku kurang. Aku kembali ke meja dimana Soni membaca buku.
“Gimana? Bukunya bagus kan?”
“Eh Joe, iya nih bagus, tapi sayang aku belum punya kartu perpus, jadi gak bisa pinjam, sayang sekali. Kamu gimana, bukunya ada?”
“Gak ada, lagi dipinjam, katanya sih ntar sore dipulangin. Kalau kamu mau, ntar buku-buku ini aku yang pinjam pakai kartuku lalu kupinjamin ke kamu, mau?”
“Mau sekali, gak ngerepotin kan?”
“Gak lah, kan ntar sore aku memang harus kembali ke sini pinjam buku. Wah gawat! 10 menit lagi ada kelas nih!”
Aku dan Soni tergesa-gesa berjalan menuju kelas.
Sore harinya... pukul 17.00 WIB
Akhirnya pelajaran usai. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan mendatangi meja Soni.
“Son, jadi gak pinjam bukunya?”
“Gak usah deh, aku mau berburu-buru pulang nih, mau anterin mamaku belanja. Ntar aja deh, lagian aku mau buat kartu perpus aja biar gampang.”
“Ok deh kalau begitu, aku duluan ya.”
Aku keluar dari kelas menuju perpus. Cuaca kelihatan mendung, awan hitam berarak di atas langit. Sepertinya mau hujan nih, aku harus cepat. Akhirnya aku sampai ke perpus setelah setengah berlari agar aku tiba lebih cepat. Aku langsung melangkah ke meja bu Santi.
“Gimana bu, bukunya dah dikembalikan belum?”
“Aduh Joe, belum tuh, mungkin ntar lagi sekitar jam 17.30.”
“Emang yang minjam siapa sih bu?”
“Sammy, anak semester VII. Dia rajin minjam buku disini dan biasanya dikembalikan tepat waktu, tunggu aja.”
Sammy? Cerita Anti tadi pagi kembali terlintas di pikiranku. Nunggu sampai 5.30 sore? Setengah jam lagi? Ya ampun...malah hari mau hujan lagi. Ya sudahlah, lagian di perpus ini juga banyak orang. Aku menunggu sambil membaca buku dan mempersiapkan data untuk presentasiku. Tanpa terasa kulihat jam, wah sudah jam 6! Kulihat keluar jendela hujan mulai turun. Kubalikkan badan ke arah meja bu Santi. Kulihat seorang pria sedang berbicara dengan bu Santi sambil mengembalikan buku. Wajahnya tidak terlalu jelas karena tertutup topi dan kebetulan tempat dudukku jauh dari meja bu Santi. Tiba-tiba dia menatap ke arahku. Matanya yang bersinar menatapku dengan tajam, seperti mata elang yang hendak memakan mangsanya. Jantungku langsung berdebar kencang. Aku langsung membalikkan badan. Ya Tuhan...aku harus segera keluar dari tempat ini, tapi...ya hujannya tambah deras, gimana mau pulang, malah orang tinggal sedikit di sini. Ketakutan menjalar ke sekujur tubuhku, aku kah korban berikutnya?pikirku dalam hati. Tenang Joe belum tentu dia pelakunya, hiburku dalam hati.
Kupalingkan muka ke meja bu Santi. Alhamdulillah, dia udah gak ada. Tapi ketika mataku tertuju pada satu meja, kulihat sesosok pria bertopi lagi membaca buku. Itu dia, Sammy! Ya Tuhan, tolonglah hambamu ini, doaku dalam hati. Dengan berat, aku melangkah ke meja bu Santi.
“Kenapa Joe? Koq pucat?”
“Gak apa-apa bu, mungkin kedinginan,”jawabku. Setakut itukah aku? Sampai-sampai wajahku menjadi pucat pasi.
“Oh ya, nih bukunya, tadi barusan dikembaliin, tuh dia orangnya,”sahut bu Santi sambil menunjuk ke arah Sammy yang sedang asyik membaca buku.
“Kalau gitu saya pinjam sekarang bu, dah malam nih, mau pulang,”jawabku sekenanya sambil menyerahkan kartuku.
“Ok. Tapi diluarkan masih hujan, sebentar lagi aja tunggu agak reda,”ujar bu Santi sambil mengisi kartu perpusku.
Aku diam tak menjawab. Menunggu? Satu menit saja seperti satu abad mengingat ada sosok seorang Sammy di dalam gedung ini. Tapi ya sudahlah, aku akan tunggu kira-kira 15 menit, kalau gak reda juga aku harus pulang sebelum menyesal.
15 menit telah berlalu...
Hujan sudah mulai reda. Akupun bergegas pulang. Kulihat Sammy masih asyik dengan buku-bukunya. Setelah permisi dengan bu Santi, akupun melangkah keluar perpus. Sambil kedinginan, aku menerobos hujan yang kelihatannya akan deras lagi. Tiba-tiba aku merasa ada sepasang mata yang mengintaiku, dan kudengar langkah kaki mengikutiku dari belakang. Dari sudut mataku, samar-samar kulihat sosok tinggi bertopi berjalan tepat di belakangku. Kupercepat langkahku dan akhirnya aku sampai di gerbang kampus, dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju halte bis yang kebetulan ramai orang. Kulihat ke belakang, sosok pria bertopi itu ternyata Sammy! Ya ampun...benarkah dia pelakunya? Dari kejauhan kulihat sedan hitam yang sepertinya kukenal melaju ke halte dan berhenti tepat di depanku.
“Hi Joe, ayo naik, dah malam nih,”Anti berteriak ke arahku sambil membuka pintu mobil.
“Hi An,”akupun melangkah masuk ke dalam mobil. Alhamdulillah, pikirku.
“Dasar anak rajin, pasti dari perpus ya kan?”
“Ya, pinjam buku buat presentasi.”
Kami terdiam untuk beberapa saat.
“An,”sela ku untuk memecah keheningan. “Aku dah tahu koq alasannya kenapa kamu heran aku berani pulang malam dari perpus. Hani teman sekelasku yang cerita.”
“Oh bagus deh. Dia cerita semuanya?”
“Semuanya. Dari cerita 3 tahun yang lalu sampai sekarang, sekalian sama yang diduga jadi pelakunya. Sammy kan yang kemungkinan jadi pelakunya?”
“Sammy? Ya sih kebanyakan orang menduga bahwa Sammy pelakunya karena di dekat dan sering terlihat bersama dan akrab dengan ketiga korban. Sammy itu anak pintar, rajin, suka menolong, jadi banyak mahasiswa/i yang sering bertanya dan dekat dengannya. Semenjak rumours itu beredar, tidak ada lagi yang berani dekat dengannya.”
“Oh...begitu ceritanya.”
“Kamu kenapa Joe, koq pucat amat?”
“Heh? Gak, mungkin karena kedinginan,”jawabku. Tidak kuceritakan pada Anti kalau aku diikuti oleh Sammy. “Kamu percaya gak kalau Sammy pelakunya?”
Anti diam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tiba-tiba...
“Joe, dah nyampe nih. Gak turun?”tanyanya.
“Udah nyampe ya? Makasih banyak ya An. Oh ya besok kita pulang bareng ya, gak ngerepotin kan?”
“Tentu gak lah. Ok besok ku tunggu ya, dag...”
“Dag...”
Senin, 17 September 2003...
Pagi yang cerah, angin berhembus perlahan menyentuh kulitku. Suasana kampus kelihatannya sudah ramai. Hari ini aku tiba lebih cepat. Pagi yang indah dan menyenangkan, ucapku dalam hati. Aku senang sekali karena sudah satu minggu ini tidak ada yang mengikutiku. Mungkin benar pelakunya bukan Sammy.
“Joe!”terdengar suara lantang memanggilku dari kejauhan.
“Hi Son,” kulihat Soni setengah berlari ke arahku.
Sudah hampir satu minggu ini hubunganku dengan Soni bertambah dekat. Dia sering menemaniku di perpus, jadi aku tidak perlu khawatir lagi kalau aku harus pulang malam dari perpus. Soni sudah seperti sahabat bagiku, sama halnya dengan Hani dan Anti, seniorku.
“Tumben cepat Joe, biasanya gak pernah sepagi ini.”
“Ya, tadi aku bangun lebih awal dan jalanan juga belum ramai, jadi aku cepat nyampenya.”
“Eehm... Ntar ke perpus lagi Joe?”
“Iya nih, cari bahan buat paper. Bareng yuk! Paper kamu juga belum selesai kan?”
“Iya sih, tapi sepertinya hari ini aku gak bisa deh, kalau kamu mau, aku bisa jemput kamu ntar jam 7 malam, karena aku harus antarin mama ke Mall dekat sini, mau?”
“Maunya sih mau, tapi apa gak ngerepotin?”
“Ya gak lah, kamu kan dah banyak bantuin aku, so?”
“Ok deh, ntar aku tunggu jam 7.”
Tanpa terasa kami sudah sampai ke pintu kelas dan seperti biasa terdengar celotehan teman-temanku ketika melihat aku dan Soni berjalan beriringan ke dalam kelas.
“Suit...suit... tambah dekat aja nih Joe?”celoteh salah satu temanku. Aku hanya tersenyum simpul.
“Hi Han,” ku sapa Hani yang sedang membaca buku.
“Hi Joe, makin dekat aja nih kalian berdua.”
“Ah Hani, kamu koq ikut-ikutan yang lain, biasa aja koq.”
“Ya luar biasa juga gak apa-apa,”jawab Hani sambil tersenyum.
“Ya Han, gak ada yang special, Joe hanya bantuin aku mengejar pelajaran, that’s it,” Soni mendukung ucapanku.
“Ya deh, percaya-percaya...”sambung Hani.
Terdengar suara langkah dari luar, kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Pasti bu Dewi, pikirku. Dan ternyata...
“Pagi semua...”sapa bu Dewi sambil memasuki ruangan.
“Pagi bu...”
Percakapan antara aku, Hani dan Soni pun usai, karena pelajaran akan segera dimulai.
Akhirnya tepat jam 2.30 sore semua pelajaran usai. Aku punya banyak waktu di perpus. Akupun beranjak menuju perpus untuk menyelesaikan paperku. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan Anti.
“Joe! Mau ke perpus?”
“Hey An, iya nih. Mau ke perpus juga?”
“Iya nih. Aku dengar-dengar di kelasmu ada anak baru, namanya Soni dan sekarang lagi dekat sama kamu, tul gak?”
“Begitulah. Dia minta bantuanku tuk mengejar ketertinggalannya. Kalau kamu mau kenal, ntar aku kenalin, jam 7 dia mau jemput aku.”
“Boleh deh, sekalian aku mau lihat orangnya yang mana.”
“An, kamu belum jawab pertanyaanku satu minggu yang lalu.”
“Yang mana?”
“Soal pelaku pembunuhan itu, kamu percaya gak kalau Sammy pelakunya?”
“Ooh yang itu.” Anti terdiam beberapa saat.
“Eeh Joe, dah nyampe nih.” Lagi-lagi percakapanku dan Anti pun tertunda.
Di dalam perpus terlihat banyak orang sedang sibuk membaca buku. Kelihatannya semua meja sudah penuh, tapi oops, ada meja kosong di sudut sana, tempat dimana Sammy duduk satu minggu yang lalu. Aku hapal betul tempatnya. Tapi ya sudahlah daripada gak ada. Aku dan Anti pun melangkah kesana. Suasana perpus lengang, karena jika ada yang bersuara sedikit saja akan langsung dikeluarkan dari perpus. Lantaran terlalu asyik membaca dan mencari buku, tanpa kusadari jam sudah menunjukkan pukul 6.50 malam. Ya ampun, hampir lupa aku, ntar lagi Soni kan mau jemput.
“Anti, dah selesai belum? Pulang yuk, ntar lagi Soni mau jemput nih, katanya mau dikenalin?”ujarku setengah berbisik ke Anti.
“Udah koq. Let’s go home.”jawab Anti sambil membereskan buku-bukunya.
Kami pun melangkah keluar perpus. Diluar hari sudah gelap.
“An, kamu percaya gak soal rumours tentang Sammy?”tanyaku menyambung percakapan kami yang tertunda.
“Heh? Soal Sammy?”
“Percaya gak?”
“Mmm...waktu pertama kali mendengar cerita itu aku gak percaya, habis anaknya baik sih. Tapi setelah kupikir-pikir dan kutelaah lebih lanjut, aku mulai mempercayainya,”jawab Anti. Kemudian ia diam sejenak.
“Jadi kamu percaya?”
Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat seorang pria berjalan mendekati kami. Awalnya kukira Soni, tapi ternyata...Sammy!!! Dadaku langsung berdebar kencang. Dia melewati kami, sambil menatap tajam ke arahku sambil menatap anting Anti yang hanya sebelah.
“An, Sammy tuh! Kamu lihat gak?”
“Ya, aku lihat.”
“Trus, kamu percaya gak?”
“Setengah percaya setengah gak, tapi setelah malam itu....”
“Joe,”suara seseorang berteriak ke arah kami.
“Hi Son,”jawabku setelah melihat wajahnya. “Son, kenalin ini senior kita, Anti, yang pernah aku ceritain ke kamu.”
“Anti,”sambil menatap Soni dengan seksama.
“Soni. Ini Anti yang buat kamu penasaran soal pembunuhan tak terungkap di kampus ini kan?”
“Ya, malah sepertinya dia tahu siapa pelakunya.”
“Pelakunya Sammy kan?”tanya Soni.
“Belum tentu sih,”jawabku. “An, tadi omonganmu belum selesai. Setelah malam itu kenapa?”
“Heh? Gak apa-apa koq. Aku pulang duluan ya Joe, kan dah ada yang ngantarin,”sahutnya sambil melirik ke Soni.
“Gak bareng aja?”
“Gak, aku bawa mobil koq.”
“An, antingmu keren amat, trend anak gaul ya?”
“Ya nih, jadi malu. Biar gak kalah ama anak-anak ibukota,”ujar Anti dengan wajah bersemu merah. “Ok, aku duluan ya, dag...”
Anti melangkah ke arah parkiran mobil dan Soni terus menatap ke arah Anti tajam tanpa kedip.
“Kenapa? Naksir ya?”tanyaku.
“Cantik juga, bolehlah.”
“Dasar cowok, gak bisa lihat yang bening dikit. Kalau emang naksir, ntar aku sampein salamnya.”
“Boleh...boleh...”
“Huh, dasar!”
Aku dan Soni masuk ke dalam mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menerobos gelap dan dinginnya malam ditemani dengan cahaya bintang dan bulan. Akhirnya kami tiba di rumahku. Soni kuajak mampir, tapi dia menolak karena harus jemput mamanya ke Mall dekat kampus.
Selasa, 18 September 2003...
Pagi ini kampus kelihatan sunyi, tidak seperti biasanya. Kulihat keramaian di papan pengumuman fakultas Sastra. Ada apa ya?pikirku. Ku percepat langkahku menuju papan pengumuman. Ya Tuhan...Anti? Gak mungkin, semalam dia masih sehat-sehat aja. Di papan tercantum bahwa Anti ditemukan meninggal di kamarnya dengan luka tusukan di perut. Di dekat mayatnya ditemukan kertas dengan tulisan “ANTING...S...” tulisan terputus setelah huruf ‘S’. Anti tidak sempat menuliskan pelakunya. Aku berasumsi kalau huruf ‘S’ adalah inisial pelakunya. Kutinggalkan papan pengumuman, sambil terus memikirkan siapa pelakunya. Apa mungkin? Sammy? Aku kembali teringat peristiwa kemarin malam dimana kulihat Sammy terus memperhatikan anting Anti. Ya ampun...gak salah lagi. Tapi mana buktinya?Di surat tersebut tertulis huruf ‘S’ dan itu belumtentu nama pelakunya. Tapi kalau Sammy pelakunya kenapa gak di perpus? Bukankah selama ini selalu di perpus? Trus Anti kan bukan anak baru? Lantas luka tusukan itu? Apa karena dia juga asli Surabaya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku, Siapakah dia? Kepalaku langsung berdenyut memikirkannya. Apa mungkin karena Anti tahu sesuatu yang belum sempat dikatakan padaku. Aku teringat perkataan Anti kemarin malam, “Setelah malam itu...” . Pasti, pasti karena Anti tahu sesuatu.
“Joe,”terdengar suara Soni memanggilku.
“Soni,”jawabku seadanya.
“Kamu dah dengar kabar belum Joe soal Anti?”
“Udah. Anti yang malang, padahal kamu kan...” aku menghentikan perkataanku sambil melihat ke arah Soni yang tertunduk lemas.
“Gak apa-apa lah, mungkin memang sudah nasibku.
“Jangan sedih, masih banyak yang lain koq,” jawabku berusaha menghibur Soni, padahal jauh di dalam hatiku aku amat sedih kehilangan sahabat sebaik Anti.
“Thanks Joe,” jawab Soni sambil tersenyum terpaksa.
Sementara di kejauhan sana terlihat sosok pria tinggi bertopi sedang menatap tajam ke arah Joe.
Selasa, 25 September 2003...
Satu minggu telah berlalu semenjak kematian Anti. Polisi juga belum bisa menemukan siapa pelakunya, benar-benar seorang psikopat. Aku tetap berasumsi bahwa pelakunya adalah Sammy, karena sudah satu minggu ini dia gak kelihatan. Soni juga dah satu minggu gak masuk kelas, mungkin dia masih shock, lagipula dia juga harus ke luar kota menghadiri acara pernikahan sepupunya. Hari-hariku pun terasa sepi. Sambil mengusir sepi, kuisi hari-hariku dengan membaca buku di perpus, lagian Sammy juga gak kelihatan, jadi tidak ada yang perlu di takutkan.
Hari ini sudah hampir jam 6 sore, tanpa sadar aku telah berada di perpus selama 3 jam karena dosen yang seharusnya masuk berhalangan hadir. Wah! sudah jam 6, aku harus pulang. Tapi aah...tanggung! ringkasanku tinggal sedikit lagi, klu bisa sekarang harus selesai, pikirku dalam hati. Satu jam telah berlalu, masih ada satu buku lagi yang harus kuringkas, ya sudahlah dipinjam saja, sudah jam 7! di luar mulai semakin gelap. Aku melangkah ke meja bu Santi dan menyerahkan kartu beserta buku yang akan kupinjam. Aku melihat ke sekeliling ruangan, hanya tinggal 5 orang. Mataku terhenti pada satu meja di sudut ruangan, kulihat sosok yang amat kukenal, kubuka mataku lebar-lebar...ya Tuhan! I...i...i...itukan Sammy! Di...di...dia...sudah datang! Gimana nih? Kucoba tenangkan diri. Tenanglah Joe, kamu kan dah mau pulang, pikirku dalam hati.
“Joe! Kamu lihat apa, koq serius amat? Dari tadi saya panggil-panggil gak jawab,” perkataan bu Santi memecah lamunanku.
“Eh ya...gak lihat apa-apa koq. Ada apa bu?”
“Gak, saya mau tanya hari ini tanggal berapa ya?”
“Oh, tanggal 25 September,”jawabku.
What? Tanggal 25 September! Tiba-tiba aku tersadar. Tanggal 25 September? Itu kan...itu kan...tanggal dimana setiap pembunuhan terjadi. Ya Tuhan...tolonglah hambamu ini, selamatkan nyawa hamba, jangan sampai hamba menjadi korban berikutnya, doaku dalam hati.
“Joe, nih bukunya, minggu depan harus sudah dikembalikan,” lagi-lagi omongan bu Santi memecah lamunanku.
“Eh...eh...iya bu. Saya pulang dulu bu.”
“Hati-hati ya...” Kulihat bu Santi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kulangkahkan kaki secepat mungkin. Oh Tuhan...andai aku punya sayap aku akan terbang agar cepat tiba di rumah, gerutuku. Kupercepat langkahku tanpa memperhatikan kanan-kiri, dan tiba-tiba... Buk!!!
“Soni?” seruku kaget. Rupanya yang kutabrak tadi adalah Soni. “Koq...koq...kamu ada di sini?” tanyaku terbata-bata. “Ka...ka...kapan pulangnya?”
“Aku pulang tadi jam 5 sore. Aku telp ke rumahmu, katanya kamu belum pulang, jadi aku langsung kesini aja karena kupikir kamu pasti di perpus. Kamu kenapa? Koq pucat?”
“A...a...a...ada Sam...Sammy di perpus,” kulihat ke belakang, Sammy sudah keluar dari perpus. “Dia sudah keluar, ayo cepat jalan!” perintahku.
“Tenang Joe, kan ada aku.”
Aku gak perduli dengan apa yang Soni katakan, pikiranku sudah dipenuhi dengan ketakutan. Kutarik tangannya dan cepat berjalan ke arah parkiran mobil. Kulihat dari sudut mataku Sammy terus mengikuti kami dan langkahnya pun semakin cepat. Syukurlah, akhirnya kami sampai ke parkiran mobil. Aku dan Soni segera masuk ke dalam mobil. Hari sudah bertambah gelap dan tiupan angin menambah menambah ketakutanku yang sudah dari tadi berkecamuk didiriku. Kulihat Sammy berdiri terpaku melihat aku dan Soni sudah di dalam mobil. Rasain! Kali ini loe gagal! pikirku. Got you!
Keesokan harinya, 26 September 2003...
Suasana kampus lengang. Tidak ada mahasiswa yang terlihat duduk-duduk di taman kampus. Dari jauh terlihat keramaian di fakultas Sastra, tepatnya di depan papan pengumuman. Setiap orang yang telah melihat pengumuman itu berkata: Joe yang malang... Kasihan ya Joe, padahal dia anak baik-baik dan pintar... How poor you are, Joe... Di papan pengumuman tertulis:
Seorang mahasiswi bernama Joe Anggraini (Joe), mahasiswi semester III, ditemukan tewas di depan pintu perpus kampus, dengan luka 10 tusukan di sekitar dada dan perut.
Polisi pun kembali meramaikan suasana kampus untuk memeriksa TKP sambil menanyai bu Santi sama halnya seperti 3 tahun yang lalu. Hani, sahabat Joe terlihat sedih dengan kematian Joe dan tak henti-hentinya menangis.
Sementara itu, di salah satu ruangan kosong di fakultas Sastra, terlihat dua sosok pria; yang satu mengenakan topi sesuai dengan kebiasaannya, dan yang satunya lagi berpostur tinggi, atletis dan berwajah tampan. Pria bertopi terlihat ketakutan terduduk di pojok ruangan dengan ekspresi wajah penuh penyesalan, sementara pria yang satunya lagi menatap tajam ke arah si pria bertopi seolah-olah akan memakannya hidup-hidup.
THE END
JMI-New Delhi, INDIA
Monday, 21st November 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home